Perayaan Idul Firi memang telah berlalu, namun kenangan dan hikmah dari perayaan tersebut pasti masih kental dalam ingatan anda. Rasa bahagia dan damai yang menyelimuti anda ketika menyantap hidangan ‘Ied di tengah-tengah canda dan keakraban keluarga pastilah tak pernah dapat anda lupakan.
Wajar bila momentum tahunan ini selalu anda nanti-nantikan, dan dengan sekuat tenaga anda mendapatkannya. Biaya yang mahal, jauhnya perjalanan dan lelahnya menghadapi kemacetan jalan, dalam sekejap semuanya sirna bila anda telah merasakan kehangatan Idul Fitri.
Hari besar ini tidak pernah surut mengobarkan kerinduan dalam batin anda kepada kampung halaman dan kedamaian bercengkrama dengan keluarga. Idul Fitri begitu istimewa dalam kehidupan umat Islam, karena terbukti mampu mengantarkan anda kepada memori kehidupan keluarga semasa anda kecil, namun dalam nuansa dan keadaan yang berbeda.
Setelah anda berhasil mewujudkan sebagian cita-cita dan merasakan indahnya sukses dalam urusan dunia, kenangan indah semasa kanak-kanak kembali bangkit. Perasaan ini begitu istimewa bagi anda, sehingga rela berkorban dengan apapun untuk dapat merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman.
Pengorbanan Demi Kenangan Indah Idul Fitri.
Indahnya nuansa berlebaran di tangah-tengah handau taulan tercinta di kampung halaman, terlanjur menguasai perasaan umat Islam. Akibatnya mereka tidak pernah menyoal berapapun biaya yang harus mereka tanggung dan seberat apapun perjuangan yang harus mereka lalui.
Pada suatu hari saya membaca sebuah berita, bahwa untuk menyambut perayaan Idul Fitri tahun ini 1432 H, BI menyiapkan dana tunai sebesar Rp 61,36 triliun. Akan tetapi pada kenyataannya, prediksi BI ini tidak tepat, bahkan jauh dari kenyataan yang terjadi di lapangan. Dalam kurun waktu sekitar 4 minggu ini, ternyata dana tunai yang diserap oleh masyarakat, terutama umat Islam mencapai angka yang fantastis. Tahukah anda berapa jumlah yang diserap oleh umat Islam dalam waktu yang sangat singkat tersebut?
Deputi Direktur Pengedaran Uang BI, Adnan Djuanda menjelaskan bahwa hingga H – 5 permintaan umat Islam terhadap uang receh telah mencapai hitungan Rp 77 triliun. Angka ini jauh melebihi permintaan umat Islam pada periode sebelumnya yang mencapai Rp 54,78 triliun. Dengan demikian permintaan pecahan uang kecil yang mencerminkan nilai belanja umat Islam mengalami peningkatan sebesar 12%.
KEMANA UANG UMAT ITU MENGALIR?
Angka di atas, mungkin tidak pernah anda bayangkan sebelumnya, namun itulah kenyataan. Pada saat yang sama, mungkin anda akan terheran mendapatkan fakta yang selama ini dilupakan oleh banyak orang. Kemampuan membelanjakan uang begitu besar dan dalam tempo waktu yang begitu pendek, adalah bukti nyata bahwa umat Islam sejatinya kaya.
Bagaimana tidak kaya, angka di atas yaitu Rp 77 triliun hanyalah angka kasar, karena itu sebatas uang yang secara resmi dicairkan oleh BI. Adapun angka pastinya, mencakup uang yang oleh masyarakat disimpan di bawah bantal, atau brangkas pribadi, dan lainnya tidak ada yang tahu jumlahnya.
Andai dana begitu besar ini diinvestasikan pada proyek yang produktif, tentu dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang besar. Andai umat Islam menyisihkan sebagian dana yang dibelanjakan untuk perayaan Idul Fitri, guna menyantuni fakir miskin, tentu banyak yang dapat terentaskan dari kemiskinan.
Akan tetapi sungguh disayangkan, dana tersebut umumnya dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat konsumtif, sehingga tidak banyak memberikan nilai positif bagi kesejahteraan umat. Hanya segelintir orang, yaitu para pedagang yang dapat menikmati derasnya aliran dana umat. Bahkan ironisnya, banyak dari dana itu mengalir kantong pedagang dari umat lain.
Coba anda kembali mengingat apa yang kemarin anda lakukan ketika merayakan Idul Fitri. Berapa pasang baju baru yang anda beli, sepatu atau sandal, dan berapa jenis makanan yang anda siapkan. Pada saat itu terkesan anda seakan kekurangan baju yang layak pakai, dan seakan Idul Fitri anda tidak sah bila tidak menyediakan hidangan dan kue yang beraneka ragam.
Tidakkah anda ingat sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
)كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ(
“Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah, tanpa ada sikap berlebih-lebihan dan kesombongan”. (Bukhari)
Lebih ironis lagi, perayaan Idul Fitri telah beralih fungsi dari perayaaan yang bernuansa ibadah dan syukur atas nikmat terlaksananya ibadah puasa, menjadi ajang “pamer”. Pamer baju baru, kue, perhiasan, kendaraan baru dan lain sebagainya.
Wajar bila nilai-nilai keimanan dan syukur kepada Allah Azza wa Jalla pada hari raya dari tahun ke tahun semakin lutur. Terlebih kesadaran tentang nilai-nilai ubudiyah kepada Allah Azza wa Jalla. Nilai Ubudiyah yang terpancar pada kepatuhan anda untuk menahan diri dari makan dan minum selama satu bulan penuh, lalu pada hari raya anda dilarang dari berpuasa. Sebulan ketaatan anda diwujudkan dalam menahan diri dari makan dan minum, dan pada hari raya sebaliknya, anda beribadah dengan makan dan minum.
Ubudiyah kepada Allah bukan terletak pada amaliyah lahir semata, namun lebih pada kepatuhan anda kepada segala perintah dan larangan, apapun bentuknya. Karena itu, ubudiyah bisa berupa makan dan minum, sebagaimana dapat terwujud dalam bentuk berpuasa.
Namun apa boleh dikata, bila ternyata umat Islam lebih menekankan pada penampilan lahir. Seakan Idul Fitri hanya sekedar bersenang-senang dengan pakaian baru, dan hidangan enak.
Pembaca yang budiman, Renungkan penuturan Ummu ‘Athiyah, semoga anda dapat membandingkan perayaan Idul Fitri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dengan perayaan anda.
قالت يا رسول الله على إحدانا بأس إذا لم يكن لها جلبات أن لاتخرج ؟ فقال ( لتلبسها صاحبيها من جلبابها فليشهدن الخير ودعوة المؤمنين )
“Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah kami berdosa bila kami tidak memiliki jilbab sehingga ia tidak turut menghadiri sholat Idul Fitri? Maka Rasulullah menjawab: Hendaknya temannya meminjamkan jilbab kepadanya, sehingga ia turut serta mendapatkan kebaikan dan tercakup oleh doa-doa umat Islam.” (Bukhari)
Demikianlah, mereka merayakan Idul Fitri, nilai-nilai ibadah lebih mereka tekankah, dari pada sebatas penampilan. Hari raya telah tiba, namun masih ada diantara sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mempunyai jilbab yang dapat digunakan menutup auratnya ketika keluar rumah.
Walau tidak memiliki jilbab, mereka tidak putus asa untuk turut serta menyemarakkan ibadah Idul Fitri sebagai upaya mendapatkan berkah kepatuhan kepada Allah Azza wa Jallah.
Andai umat Islam di zaman sekarang kembali menekankan pada nilai-nilai ibadah dibanding penampilan, niscaya potensi dan kekayaan mereka tidak dihambur-hamburkan seperti saat ini.
Mari kita perhatikan kata pepatah berikut
ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعاته تزيد
“Bukanlah ‘ied itu milik orang yang berbaju baru, namun ‘ied adalah milik orang yang ketakwaannya maju nan menderu.”
Penutup.
Kami berharap paparan sederhana ini menggugah iman anda, sehingga anda tidak menghamburkan uang hasil jerih payah anda dalam hal-hal yang kurang bernilai. Semoga tulisan ini mengingatkan anda bahwa hasil kucuran keringat anda selama ini, alangkah indahnya bila anda titipkan di sisi Allah. Betapa banyak pintu-pintu surga yang terbuka di sekitar anda, namun betapa sedikit yang berhasil anda raih dengan harta kekayaan anda.
Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab.
Oleh: Ustadz. DR Arifin Badri, MA
Artikel di atas diterbitkan di majalah Pengusaha Muslim edisi 22. pada edisi ini, majalah Pengusaha Muslim secara khusus membahas tentang halal-haram bisnis waralaba (Franchise) dan bisnis ritel.
Bagi Anda yang berminat mendapatkan edisi cetak, anda bisa menghubungi http://majalah.pengusahamuslim.com/
Untuk versi ebook, bisa anda dapatkan di: http://shop.pengusahamuslim.com/
🔍 Hubungan Suami Istri Jarak Jauh Menurut Islam, Sholat Sunnah Syuruq, Berbaik Sangka Kepada Allah, Pengertian Ibadah Menurut Islam, Kisah Abu Jahal, Yang Membatalkan Wudlu